Abstract This article summaries the important roles of women in coastal rural areas of Indonesia. They are not only playing important role on domestic-based activities, but also in the productive activities to support their family economy. The women plays important role as a fishery product traders, processors, and other marketing-based activities. They also do pioneering on the development of rural-based tourism in the coastal areas, for example at the southern coast of Yogyakarta. Rural development that integrate the women participation is required for the sustainability of the coastal economy (pesisir).
Orientasi pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan di Selatan Jawa akhir-akhir ini semakin gencar dikumandangkan. Daerah-daerah yang masyarakatnya secara historis tidak memiliki akar sejarah yang kuat dalam menggantungkan hidup mereka dari hasil laut juga berlomba-lomba mengeluarkan anggaran daerahnya untuk pengembangan wilayah pesisir. Hal ini nampak dari rencana pembangunan pelabuhan baik di Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Purworejo, Kebumen, dan daerah-daerah lainnya. Kondisi semacam ini sangat positif jika masing-masing daerah dapat berbagi peran dengan baik, sehingga dengan dukungan tersebut pembangunan pesisir akan memiliki sokongan yang kuat menuju keberhasilan.
Wanita merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam pembangunan pesisir karena posisinya yang strategis dalam kegiatan berbasis perikanan dan kelautan sebagai pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah hasil perikanan. Namun demikian, dalam berbagai aspek kajian ataupun program-program pembangunan pesisir mereka tidak banyak tersentuh. Ketika berbicara tentang nelayan yang terlintas dalam pikiran adalah kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Pikiran demikianlah yang mendorong lahirnya program pembangunan perikanan yang bias gender seperti nampak pada berbagai program pemberdayaan masyarakat pesisir. Kondisi demikian telah dianggap sebagai hal yang lumrah karena dalam budaya kita, wanita telah lama dikonstruksi secara sosial maupun budaya untuk menjadi ”kanca wingking” yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga bahkan seperti dikatakan Djohan (1994) geraknyapun dibatasi dalam lingkup rumah tangga. Sehingga artikulasi peran wanita nelayan dalam kehidupan sosial dan budaya di pesisir menjadi kurang atau tidak tampak.
Keterbatasan ekonomi keluargalah yang menuntut wanita nelayan termasuk anak-anak mereka bekerja di daerah pesisir. Dalam kegiatan perikanan laut wanita nelayan berperan sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Di beberapa wilayah bahkan peranan wanita nelayan, juga sering menyentuh wilayah yang dianggap sebagai dunia kerja kaum laki-laki yaitu penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di daerah mangrove Teluk Bintuni Papua. Peran produktif ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reproduktif atau domestiknya. Hasil kajian Widaningroem dkk. (1998) di pantai selatan Yogyakarta menunjukkan bahwa walaupun peran reproduktif yang dilakukan oleh wanita seperti membersihkan rumah, mencuci, dan menyiapkan makanan mencapai angka 80% dari alokasi waktu setiap harinya, ketika mereka melakukan aktivitas produktif di pesisir, peran tersebut ditinggalkan sementara dan diserahkan kepada kepada anak atau ibu/nenek mereka. Kontribusi nelayan ini terhadap pendapatan keluargapun, dapat mencapai separuh dari pendapatan suami.
Pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia seharusnya memperhatikan kondisi wanita maupun pria atau bersifat gender sensitive. Peran wanita dapat dioptimalkan apabila faktor penghambat yang melingkupinya teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah wanita lebih banyak dari kaum pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar mendasarkan pada kebutuhan kaum wanita, padahal mereka bekerja pada dua fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif. Pengembangan program pembangunan yang tidak bias gender memiliki arti yang sangat penting di daerah pesisir disebabkan tidak hanya karena secara kuantitatif jumlah kaum wanita lebih banyak, tetapi karena peran wanita nelayan yang sangat strategis. Partisipasi wanita dalam berbagai aktivitas produktif di pesisir juga telah banyak terbukti mampu mempertahankan keberlanjutan ekonomi rumah tangga nelayan. Kesempatan peran wanita nelayan juga memiliki peluang yang cukup baik karena suami mereka memiliki kebiasan yang baik yaitu menyerahkan hasil usaha melaut mereka kepada kaum wanita dan sekaligus memberikan kepercayaan kepada wanita untuk mengelola keuangan tersebut. Hal ini tentunya menjadikan wanita lebih mandiri dan berani memutuskan hal-hal penting bagi keluarga dan dirinya. Dukungan internal tersebut akan lebih optimal jika program-program intervensi oleh pemerintah juga menyentuh kaum wanita nelayan.
Berbagai program pembangunan ke depan perlu menyediakan kesempatan kepada wanita nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran wanita nelayan dalam pembangunan pesisir hanya dapat dilakukan melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayaan perempuan ke dalam kebijakan nasional, propinsi atau kabupaten/kota baik pada ranah perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah mudah dilakukan jika tidak didukung adanya kesadaran dan kepekaan para pengambil kebijakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh program-program yang dapat menjamin keterlibatan para wanita.
Pembagian peran yang sejajar khususnya dari aspek ekonomi perikanan dimana wanita yang mengurusi pasca panen dan pemasaran hasil perikanan termasuk pengawetan, pengolahan, distribusi dan pemasaran hasil, sementara pria pada aspek produksi melalui kegiatan penangkapan ikan dapat menjadi salah satu cara mendorong partisipasi wanita yang lebih baik. Peran ini didasari pada berbagai kesulitan dalam kegiatan produksi perikanan laut. Penguatan aspek pasca panen dan pemasaran tidak hanya bermakna bagi para wanita nelayan, tetapi aktivitas perikanan secara keseluruhan karena aspek ini menjadi titik terlemah kegiatan produksi perikanan. Program penguatan dapat dilakukan misal melalui penguatan kelembagaan usaha berbasis kelompok. Penguatan ini memiliki makna positif karena dapat memperkuat bargaining position para wainta terhadap pesaing yang umumnya kaum pria dengan modal yang lebih besar, mempermudah akses terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi. Pada akhirnya, pengembangan program pembangunan yang berbasis perikanan dan kelautan yang terpadu dengan kegiatan lainnya seperti wisata bahari merupakan peluang besar bagi aktualasisasi peran wanita nelayan.
Oleh:
Suadi
Jurusan Perikanan UGM
e-mail: suadi(at)ugm(dot)ac(dot)id
(Keterangan foto: Selepas magrib di Pantai Kuwaru, istri nelayan sedang mengolah ikan, yang sebenarnya dilakukan bersama dengan anak-anak dan suaminya)